Breaking News

Ketimpangan Kekuatan dalam Kontrak: Saat Hukum Perikatan Tak Lagi Netral

Oleh : Deri Irfan
Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum
Unpam Serang
Dosen Pengampu : Risky Amelia,S.H,M.H


SERANG- Dalam teori hukum perikatan, semua pihak yang terikat dalam sebuah kontrak dianggap berada dalam kedudukan yang sejajar. Mereka dianggap secara bebas, sadar, dan sukarela menyetujui isi kontrak yang mereka tandatangani Namun, bagaimana kenyataannya di lapangan? Apakah semua kontrak benar-benar terlahir dari kesetaraan? 

Sebagai mahasiswa hukum yang aktif mengikuti dinamika peraturan dan praktik di masyarakat, saya melihat bahwa asas kebebasan berkontrak tak selalu berarti kebebasan yang adil—khususnya dalam konteks kontrak antara pelaku usaha dan konsumen.

Hukum perikatan di Indonesia menganut prinsip pacta sunt servanda—bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. 

Namun, dalam dunia nyata, banyak kontrak yang dibuat dalam posisi tidak seimbang. Konsumen sering kali hanya menjadi pihak pasif yang "dipaksa" menyetujui kontrak yang telah disusun sepihak oleh pelaku usaha. Tidak ada negosiasi. Tidak ada ruang untuk mengubah isi. Inilah yang kemudian dikenal sebagai kontrak baku (standard contract).

Masalahnya, kontrak baku sering kali memuat klausul-klausul yang merugikan konsumen. Mulai dari pengalihan tanggung jawab, pembatasan hak, hingga pembebasan pelaku usaha dari tanggung jawab hukum. 

Padahal, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan tegas melarang adanya klausul baku yang merugikan konsumen. Namun faktanya, praktik semacam ini masih marak.Dari kacamata akademik dan idealisme hukum, ini menunjukkan bahwa hukum perikatan di Indonesia belum sepenuhnya netral.

Hukum yang seharusnya melindungi semua pihak secara adil, justru menjadi alat yang melanggengkan dominasi satu pihak atas pihak lain. Ketika pelaku usaha punya kuasa menyusun kontrak, dan konsumen tidak punya pilihan selain menerima atau menolak seluruhnya, maka asas kebebasan berkontrak hanya menjadi mitos hukum yang tak berpijak pada realitas.

Sebagai generasi muda hukum, saya memandang pentingnya penguatan asas keseimbangan dalam perikatan. Keseimbangan bukan berarti kedua pihak selalu mendapat keuntungan yang sama besar, tetapi memastikan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan secara sistematis. 

Pemerintah, lembaga perlindungan konsumen, hingga pengadilan harus lebih tegas dalam menilai keabsahan suatu kontrak. Klausul-klausul yang merugikan konsumen harus bisa dibatalkan demi hukum, dan pelaku usaha wajib diminta bertanggung jawab.Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hak-haknya, serta peran aktif mahasiswa dan akademisi dalam mengawal isu ini, kita berharap hukum perikatan di Indonesia dapat kembali pada fungsinya yang adil dan seimbang. Karena

hukum yang baik adalah hukum yang tidak hanya mengikat secara formal, tapi juga adil secara substansial.

© Copyright 2022 - ABAH SULTAN