Breaking News

Mengikat dalam Aturan: Menyoal Keadilan Hukum Perikatan di Indonesia

Oleh : Hendric Setiawan
Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum 
Unpam Serang
Dosen Pengampu : Risky Amelia,S.H,M.H


SERANG- Sebagai mahasiswa hukum, saya menyadari bahwa hukum perikatan memiliki peran krusial dalam menjamin kepastian hukum dalam setiap hubungan hukum, baik antara individu, badan usaha, hingga antara warga negara dengan negara. Dalam hukum perdata Indonesia, hukum perikatan diatur secara mendasar dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), yang banyak dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa Kontinental. Namun, dalam praktiknya, pertanyaan besar masih menggantung: apakah hukum perikatan benar-benar telah mencerminkan asas keadilan?

Perikatan: Sekadar Formalitas atau Pelindung Kepentingan?

Perikatan sering kali hanya dipandang sebagai dokumen formal yang dibuat atas dasar kesepakatan para pihak. Padahal, dalam konteks masyarakat yang tidak memiliki posisi tawar yang seimbang, seperti dalam kontrak kerja, kontrak jasa digital, atau kontrak jual beli dengan korporasi besar, perikatan justru berpotensi menjadi alat dominasi pihak yang lebih kuat. Hal ini membuat banyak kontrak bersifat “take it or leave it”, di mana pihak yang lemah hanya bisa menerima tanpa benar-benar memahami atau menyetujui isi perjanjian secara adil.

Masalah Ketimpangan dan Perlindungan Hukum

Sebagai mahasiswa, saya melihat bahwa salah satu kelemahan hukum perikatan di Indonesia adalah belum optimalnya perlindungan terhadap pihak yang lemah, seperti konsumen atau pekerja. Meskipun telah ada Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan berbagai regulasi ketenagakerjaan, implementasinya sering kali lemah. Dalam praktik peradilan, klausul baku yang merugikan konsumen masih sering lolos tanpa koreksi. Ini menunjukkan bahwa keadilan kontraktual belum menjadi orientasi utama.

Asas Keseimbangan dan Tanggung Jawab Negara

Asas keseimbangan dalam hukum perikatan seharusnya menjadi fondasi utama. Hukum tidak hanya harus melindungi kesepakatan, tetapi juga memastikan bahwa kesepakatan itu dibuat dalam kondisi yang adil, transparan, dan tidak merugikan salah satu pihak secara tidak proporsional. Dalam konteks ini, negara melalui sistem peradilannya harus hadir secara aktif untuk menilai keadilan materiil dalam kontrak, bukan hanya formil. Hakim seharusnya tidak pasif menilai legalitas formal, tetapi juga menilai apakah isi perjanjian mencerminkan nilai-nilai keadilan sosial.

Menatap Masa Depan Hukum Perikatan

Sebagai generasi muda hukum, saya percaya bahwa hukum perikatan di Indonesia perlu direformasi agar lebih responsif terhadap perubahan sosial dan ekonomi. Dalam era digital dan globalisasi ini, bentuk-bentuk perikatan juga semakin kompleks. Oleh karena itu, sistem hukum kita harus mampu menyesuaikan diri dan memberikan perlindungan yang adil bagi semua pihak.

Peninjauan ulang terhadap asas kebebasan berkontrak yang selama ini terlalu dominan perlu dilakukan, dengan menekankan pentingnya asas proporsionalitas, keadilan, dan perlindungan terhadap pihak lemah. Pendidikan hukum juga harus menanamkan perspektif kritis dan berpihak pada nilai-nilai keadilan substantif, bukan hanya hukum sebagai teks normatif.

© Copyright 2022 - ABAH SULTAN