![]() |
Oleh : Rexel Dandung Prihandiska Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum Unpam Serang Dosen Pengampu: Risky Amelia,S.H,M.H |
SERANG- Perikatan adalah inti dari setiap hubungan hukum perdata, di mana janji yang diucapkan atau dituliskan antara dua pihak diikat olehkonsekuensi hukum. Dalam sistem hukum indonesia, perikatan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), khususnya dalam Buku III tentang Perikatan. Namun, dalam praktiknya, perikatan tidak selalu hadir dalam wujud ideal. Banyak kontrak dibuat secara timpang, tanpa pemahaman yang seimbang dari kedua belah pihak, terutama antara pelaku usaha dan konsumen.
Sebagai mahasiswa hukum, saya melihat bahwa perikatan di Indonesia menghadapi tantangan besar: ketimpangan kekuasaan dalam perjanjian dan minimnya perlindungan terhadap pihak yang lemah. Salah satu contoh yang menonjol adalah perjanjian standar (standard contract) yang sering digunakan oleh perusahaan besar. Dalam kontrak ini, konsumen hanya bisa menerima atau menolak seluruh isi kontrak tanpa punya ruang untuk bernegosiasi. Ini jelas bertentangan dengan prinsip asas kebebasan berkontrak yang seharusnya mencerminkan kesetaraan para pihak.
Asas keseimbangan, yang menjadi salah satu asas fundamental dalam hukum perikatan, seringkali hanya tinggal teori. Banyak perjanjian yang tidak memperhatikan kepentingan dan posisi tawar pihak yang lebih lemah. Padahal, hukum seharusnya tidak hanya mengatur tetapi juga melindungi. Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebenarnya telah mencoba menjembatani celah ini, namun implementasinya masih belum optimal. Banyak konsumen tidak menyadari hak-haknya dan enggan menggugat
karena proses hukum yang panjang dan rumit.Selain itu, dalam dunia kerja, perjanjian kerja antara buruh dan perusahaan juga menunjukkan ketimpangan yang sama. Banyak buruh yang menandatangani kontrak tanpa benar-benar memahami isi pasal-pasalnya, karena tekanan ekonomi atau kurangnya literasi hukum. Ini menunjukkan bahwa hukum perikatan masih belum benarbenar menjamin keadilan substantif bagi semua pihak.
Sebagai generasi muda hukum, kita perlu mendorong paradigma baru dalam memahami perikatan. Tidak cukup hanya berpijak pada asas kebebasan berkontrak, tetapi juga harus berpijak pada asas keadilan dan perlindungan. Hakim juga harus berani menafsirkan kontrak berdasarkan prinsip keadilan sosial, bukan hanya pada teks hukum semata.
Perlu adanya reformulasi terhadap hukum perikatan yang lebih responsif terhadap realitas sosial dan ketimpangan relasi. Pendidikan hukum juga harus mendorong mahasiswa untuk lebih kritis terhadap praktik perjanjian yang timpang, dan tidak semata-mata menghafal pasal-pasal KUHPerdata.
Janji dalam hukum bukan sekadar kata, tetapi harus menjadi alat untuk menciptakan keadilan
Social Header