Breaking News

Ketika Kontrak Jadi Sengketa: Hukum Perikatan dan Tantangannya di Era Modern

Oleh : Rexel Dandung Prihandiska 
Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum 
Unpam Serang 
Dosen Pengampu: Risky Amelia,S.H,M.H


SERANG - Di tengah arus globalisasi dan perkembangan teknologi, kontrak menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial dan ekonomi. 

Setiap transaksi, mulai dari jual beli daring hingga perjanjian kerja sama bisnis internasional, berakar pada apa yang dalam hukum dikenal sebagai hukum perikatan. Namun, tak sedikit dari kontrak-kontrak tersebut justru berujung pada sengketa. Lalu, bagaimana hukum perikatan sebagai bagian dari sistem hukum perdata di Indonesia menjawab tantangan tersebut?


Hukum Perikatan: Dasar dan Kenyataan

Secara konseptual, hukum perikatan diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Ia mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang menyepakati suatu hal yang menimbulkan hak dan kewajiban timbal balik. Idealnya, kontrak dibangun di atas asas kebebasan berkontrak, konsensualisme, itikad baik, dan keseimbangan.

Namun dalam praktiknya, prinsip-prinsip tersebut kerap dipertanyakan. Banyak kontrak konsumen misalnya, yang menyisipkan klausul baku yang tidak memberikan ruang tawar bagi pihak yang lebih lemah secara ekonomi dan informasi. Di sinilah letak persoalannya—ketika hukum perikatan, yang seharusnya menjamin keadilan, justru menjadi instrumen dominasi pihak yang lebih kuat.


Tantangan Hukum Perikatan di Era Modern

Sebagai mahasiswa hukum, saya memandang ada tiga tantangan utama dalam penerapan hukum perikatan saat ini:


1. Ketimpangan Posisi Pihak dalam Kontrak

Dalam banyak kasus, perikatan terjadi tidak antara dua pihak yang setara. Pelaku usaha besar dan konsumen individu, misalnya, memiliki akses informasi dan sumber daya hukum yang sangat timpang. Tanpa intervensi regulasi yang memadai, klausul-klausul kontrak berpotensi menjadi alat penindasan.


2. Digitalisasi dan Kontrak Elektronik

Kemunculan kontrak digital dan aplikasi berbasis daring membawa tantangan baru. Banyak pengguna menyetujui syarat dan ketentuan tanpa membacanya, dan ketika terjadi sengketa, ketentuan dalam kontrak digital sering kali sulit dipahami atau bahkan tidak sejalan dengan perlindungan hukum yang semestinya.


3. Kurangnya Pemahaman Hukum di Masyarakat

Banyak pihak yang menandatangani kontrak tanpa memahami isinya. Pendidikan hukum yang rendah di kalangan masyarakat memperbesar risiko 

penyalahgunaan kontrak. Hukum perikatan harus lebih responsif dengan mendorong peran notaris, edukasi kontrak, dan penerapan prinsip keadilan substantif.

Menuju Hukum Perikatan yang Responsif dan Berkeadilan 

Sebagai generasi muda hukum, saya percaya bahwa reformasi hukum perikatan harus dimulai dari keberanian meninjau kembali asas-asas klasiknya dalam konteks zaman. 

Regulasi seperti UU Perlindungan Konsumen, Peraturan OJK, dan Peraturan ECommerce harus dipertegas penerapannya untuk menyeimbangkan hubungan hukum dalam kontrak.

Selain itu, peran hakim juga penting untuk menafsirkan kontrak tidak hanya secara tekstual, tetapi juga berdasarkan prinsip keadilan, itikad baik, dan perlindungan terhadap pihak yang lemah.

© Copyright 2022 - ABAH SULTAN