![]() |
Oleh : Yusuf Farhan Ramadhan Mahasiswa Fakultas Ilmu Hukum Unpam Serang Dosen : Risky Amelia,S.H,M.H |
SERANG,- Sebagai mahasiswa yang mempelajari hubungan internasional, saya melihat sengketa Laut China Selatan sebagai salah satu tantangan terbesar dalam penegakan hukum internasional di era globalisasi.
Laut China Selatan adalah jalur perdagangan penting yang melibatkan beberapa negara, termasuk Tiongkok, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei, yang masing-masing memiliki klaim teritorial atas wilayah tersebut.
Konflik ini semakin rumit dengan klaim Tiongkok atas hampir seluruh wilayah laut berdasarkan "sembilan garis putus-putus", yang telah diputuskan oleh Pengadilan Arbitrase Internasional pada 2016 sebagai tidak sah menurut hukum internasional.
Keputusan pengadilan tersebut menggarisbawahi pentingnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang harus dijunjung tinggi oleh semua negara.
Namun, meskipun ada keputusan hukum yang jelas, Tiongkok tetap mempertahankan klaimnya, sementara negara-negara yang lebih kecil seperti Filipina merasa terancam oleh dominasi tersebut, hal ini menimbulkan ketegangan yang berpotensi membahayakan stabilitas kawasan.
Sebagai mahasiswa, saya percaya bahwa hukum internasional harus ditegakkan dengan tegas. Negara-negara besar tidak boleh menempatkan kepentingan mereka di atas hukum yang sudah disepakati bersama.
Sengketa Laut China Selatan bukan hanya masalah kedaulatan negara, tetapi juga tentang kepentingan global dalam menjaga kebebasan navigasi dan perdagangan internasional.
Dunia membutuhkan pendekatan yang lebih diplomatis dan berbasis hukum untuk menyelesaikan sengketa ini demi perdamaian dan stabilitas kawasan.
Social Header