
Oleh : Diana Farhah
Mahasiswi Universitas Pamulang Serang
Prodi : Ilmu Hukum Semester 3
Dosen Pengampu : Risky Amelia,S.H,M.H

Mahasiswi Universitas Pamulang Serang
Prodi : Ilmu Hukum Semester 3
Dosen Pengampu : Risky Amelia,S.H,M.H
SERANG, Menurut Diana Farhah mahasiswi Fakultas Hukum Semester 3 Universitas Pamulang Serang, Pengadilan Internasional (ICJ) kini menjadi sorotan global terkait dua kasus besar yang melibatkan negara-negara berkembang, yaitu gugatan Gambia terhadap Myanmar atas dugaan genosida terhadap komunitas Rohingya.
Kasus ini tidak hanya menggugah simpati internasional tetapi juga mencerminkan ujian bagi tata hukum dunia dalam menegakkan keadilan di tengah krisis kemanusiaan.
Menurutnya Rohingya mengalami Luka Mendalam bagi Myanmar,
Rohingya, komunitas minoritas Muslim di Myanmar, telah lama menjadi korban diskriminasi, kekerasan sistematis, dan pelanggaran hak asasi manusia. Krisis mencapai puncaknya pada 2017 ketika ratusan ribu Rohingya dipaksa mengungsi ke Bangladesh akibat operasi militer brutal. Laporan dari PBB dan berbagai lembaga internasional menyebut tindakan ini sebagai indikasi kuat genosida.
Gambia, atas nama Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), mengajukan kasus ini ke ICJ, menuduh Myanmar melanggar Konvensi Genosida 1948. Keberanian Gambia sebagai negara kecil untuk memimpin perjuangan ini patut diapresiasi. Namun, perjuangan ini tidak hanya milik Gambia atau Rohingya, melainkan milik kemanusiaan secara keseluruhan.
Menurut Diana harus adanya Tanggung Jawab Global dan Harapan untuk ICJ,
Kasus ini penting karena menguji sejauh mana komunitas internasional dapat menggunakan hukum untuk melindungi kelompok rentan dari pelanggaran hak asasi manusia. Keputusan ICJ nanti akan menjadi preseden penting: apakah dunia berkomitmen pada prinsip "Never Again" yang lahir setelah Holocaust, atau apakah retorika kemanusiaan hanya akan menjadi slogan kosong?
Di sisi lain, keberhasilan kasus ini membutuhkan dukungan lebih luas dari masyarakat internasional, termasuk negara-negara besar. Ketidakpedulian global hanya akan memperparah penderitaan Rohingya dan melemahkan kredibilitas institusi hukum internasional.
Sebagai mahasiswa Diana, berpendapat atas Masa Depan Rohingya adalah Masa Depan Kemanusiaan
Kasus ini mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk keadilan tidak boleh berhenti pada batas geografis atau kepentingan nasional. Kemanusiaan adalah nilai universal yang mengikat kita semua. Ketidakadilan terhadap Rohingya adalah ketidakadilan terhadap dunia.
Kini, masyarakat global harus bersatu mendukung proses hukum di ICJ dan mendorong solusi jangka panjang untuk mengakhiri penderitaan Rohingya. Dunia membutuhkan lebih banyak negara seperti Gambia yang berani menegakkan keadilan di tengah ketidakpedulian.
Myanmar harus mempertanggungjawabkan tindakannya, bukan hanya demi Rohingya, tetapi demi menjaga harapan bahwa keadilan dan hukum masih memiliki tempat di dunia yang sering kali diliputi ketidakadilan.
Social Header