![]() |
Oleh : Salwa Mahestu Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum Unpam Serang Dosen Pengampu: Risky Amelia,S.H,.M.H |
SERANG- Di era digital yang semakin pesat, transaksi e-commerce telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Kemudahan belanja online, kecepatan layanan, dan fleksibilitas transaksi menjadikan platform digital sebagai pilihan utama. Namun, di balik booming e-commerce tersebut, terdapat satu aspek hukum yang menjadi sorotan dan menimbulkan banyak pertanyaan: kontrak digital dan celah hukum perikatan di dalamnya.
Sebagai mahasiswa hukum, saya melihat bahwa sistem hukum perdata Indonesia, khususnya mengenai hukum perikatan, masih berakar pada asas-asas klasik yang tercermin dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). KUH Perdata pada dasarnya tidak secara eksplisit mengatur kontrak dalam bentuk digital. Padahal, dalam praktiknya, transaksi online antara penjual dan pembeli di marketplace, seperti Tokopedia, Shopee, atau TikTok Shop, melibatkan serangkaian perikatan yang memiliki akibat hukum.
Permasalahan muncul ketika terjadi sengketa—misalnya, barang tidak sesuai, pembayaran tidak diterima, atau penipuan dalam bentuk phishing. Apakah klik tombol “checkout” atau centang “Saya setuju dengan syarat dan ketentuan” sudah bisa dianggap sebagai bentuk perjanjian sah menurut hukum? Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, syarat sahnya perjanjian meliputi kesepakatan, kecakapan, objek tertentu, dan sebab yang halal. Tetapi bagaimana jika kesepakatan dilakukan melalui platform tanpa tanda tangan atau bukti fisik?
Celakanya, tidak semua pelaku usaha digital memahami konsekuensi hukum dari perikatan mereka. Banyak pelaku UMKM hanya mengandalkan platform tanpa menyadari bahwa mereka sebenarnya terikat kontrak dengan konsumen. Di sisi lain, konsumen pun sering kali tidak membaca syarat dan ketentuan yang panjang dan rumit.
Di sinilah celah hukum itu tampak jelas. Hukum perikatan kita belum sepenuhnya mampu menjawab tantangan digital. Belum ada sistem hukum nasional yang secara komprehensif mengatur validitas kontrak elektronik, perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan, serta mekanisme penyelesaian sengketa digital yang cepat dan efektif.
Sudah saatnya negara merespons fenomena ini dengan serius. Revisi terhadap KUH Perdata atau pembentukan undang-undang khusus mengenai perikatan digital sangat diperlukan. Selain itu, penting bagi fakultas hukum untuk mengintegrasikan topik-topik ini dalam kurikulum agar generasi muda hukum siap menghadapi tantangan era digital.
Sebagai mahasiswa hukum, saya berharap agar pemerintah, akademisi, dan praktisi hukum dapat bersama-sama membangun sistem hukum yang responsif terhadap dinamika teknologi. Jangan sampai celah hukum ini terus dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab dan melemahkan rasa keadilan di masyarakat.
Social Header