Breaking News

Hukum Acara Perdata: Harapan Generasi Muda terhadap Sistem yang Responsif, Terutama dalam Pandangan Mahasiswa Hukum

Oleh : Alfin Faturohman
Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum 
Unpam Serang
Dosen Pengampu: Ahmadi,S.T,.S.H,.M.H


SERANG- Perkembangan zaman menuntut segala aspek kehidupan untuk bergerak cepat dan adaptif, tidak terkecuali dalam dunia hukum. Namun di tengah laju transformasi digital dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-hak hukum, sistem hukum acara perdata Indonesia justru dinilai masih berjalan lambat, rumit, dan kurang responsif terhadap kebutuhan masyarakat modern. 

Sebagai mahasiswa hukum, saya memandang bahwa Hukum Acara Perdata Indonesia saat ini masih terjebak dalam kerangka hukum warisan kolonial yang belum sepenuhnya diperbarui. Sebagian besar ketentuannya masih bersumber dari Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RBg), dua produk hukum peninggalan Belanda yang sudah tidak lagi relevan dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia hari ini. 

Masalah yang paling menonjol adalah rumit dan lamanya proses penyelesaian perkara perdata di pengadilan. Dari proses pendaftaran gugatan, mediasi, pembuktian, hingga pembacaan putusan, sering kali memakan waktu bertahun-tahun. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 

Saya  sebagai generasi muda hukum memiliki harapan besar agar sistem hukum acara perdata lebih responsif, baik terhadap perkembangan teknologi maupun terhadap kebutuhan keadilan masyarakat akar rumput. Dalam praktiknya, banyak masyarakat yang tidak mengerti bagaimana cara mengajukan gugatan perdata, apalagi memahami proses hukum yang begitu teknis dan formal. Hal ini menimbulkan kesenjangan akses terhadap keadilan (access to justice), di mana hanya mereka yang berpendidikan atau mampu membayar jasa hukum sajalah yang bisa berperkara dengan benar. 

Penerapan sistem e-Court dan e-Litigation oleh Mahkamah Agung merupakan langkah maju, namun implementasinya masih terbatas di kota besar dan belum menyentuh akar permasalahan secara menyeluruh. Generasi muda hukum berharap agar digitalisasi peradilan tidak hanya sekadar formalitas, tetapi benar-benar dimanfaatkan untuk memperluas akses hukum, mempercepat proses peradilan, dan menekan biaya perkara. 

Selain itu, mekanisme penyelesaian sengketa alternatif seperti mediasi seharusnya diperkuat dan dimaknai secara substantif, bukan hanya dijalankan sekadar menggugurkan kewajiban prosedural. Dalam konteks perdata, penyelesaian damai justru dapat memberikan win-win solution bagi para pihak tanpa harus membuang waktu dan biaya besar di persidangan. 

Sebagai mahasiswa hukum, saya percaya bahwa hukum harus hadir untuk memberikan keadilan, bukan membingungkan dan memperumit kehidupan masyarakat. Revisi dan pembaruan hukum acara perdata harus melibatkan suara generasi muda—kami yang akan menjadi bagian dari penegak hukum di masa depan. Aspirasi kami terutama pribadi saya sederhana: saya ingin melihat sistem hukum acara perdata Indonesia menjadi lebih sederhana, cepat, transparan, dan dapat diakses oleh semua golongan masyarakat, bukan hanya kaum elit atau yang paham hukum. 

Sudah waktunya hukum acara perdata Indonesia meninggalkan warisan kolonialnya dan melangkah maju menjadi sistem yang adil dan responsif. Generasi muda siap berperan aktif dalam proses reformasi hukum ini, karena kami percaya bahwa masa depan hukum Indonesia berada di tangan kita semua.

© Copyright 2022 - ABAH SULTAN