Breaking News

Ketika Cinta Dibawa ke Meja Hijau: Perikatan Tunangan di Tengah Kontroversi Gugatan

Oleh : M Rifki Ridho Gusti
Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum
Unpam Serang 
Dosen Pengampu: Risky Amelia,S.H,.M.H


SERANG- Dalam masyarakat Indonesia, pertunangan sering dipandang sebagai wujud keseriusan hubungan menuju pernikahan. Namun, bagaimana jika pertunangan berakhir tanpa pernikahan? Apakah salah satu pihak bisa digugat secara hukum? Pertanyaan ini mengemuka belakangan ini, seiring dengan beberapa kasus gugatan tunangan yang menarik perhatian publik. 

Sebagai mahasiswa hukum, saya melihat fenomena ini dari perspektif hukum perdata, khususnya dalam konteks perikatan. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, di mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut. Pertanyaannya: apakah tunangan bisa dianggap sebagai bentuk perikatan yang menimbulkan hak dan kewajiban hukum? 

Dalam praktiknya, pertunangan tidak secara tegas diatur dalam KUH Perdata maupun perundang-undangan lain. Tunangan dianggap sebagai janji moral dan sosial, bukan janji hukum. Namun, dalam beberapa kasus, pihak yang merasa dirugikan—baik secara materiil maupun immateriil—memilih membawa kasus ini ke pengadilan atas dasar wanprestasi atau perbuatan melawan hukum (PMH). 

Hal ini menimbulkan kontroversi. Di satu sisi, ada yang berpendapat bahwa membatalkan pertunangan bukanlah perbuatan melawan hukum, karena tidak ada dasar hukum yang mengikat janji tersebut. Namun di sisi lain, jika telah terjadi pengeluaran besar, kerugian emosional, atau rusaknya reputasi akibat pembatalan sepihak, maka hal itu bisa dijadikan dasar gugatan atas kerugian. 

Menurut saya, dalam era keterbukaan informasi dan kesadaran hukum masyarakat yang semakin meningkat, sudah saatnya pertunangan diberi ruang dalam regulasi hukum perdata modern—setidaknya dalam bentuk perjanjian pranikah informal yang bisa menjamin perlindungan kedua belah pihak. Negara tidak bisa menutup mata terhadap realitas sosial yang terjadi, apalagi jika dampaknya nyata dan menimbulkan kerugian. 

Namun demikian, hukum juga harus berhati-hati agar tidak mencampuri ranah privat dan emosional yang terlalu dalam. Sebab, cinta dan komitmen adalah persoalan hati—dan tidak semua yang berasal dari hati bisa dipaksakan lewat hukum. 

Sebagai mahasiswa hukum, saya melihat perlunya keseimbangan antara perlindungan hukum dan penghormatan terhadap nilai-nilai moral dan adat yang hidup di masyarakat. Pertunangan seharusnya tidak diangkat begitu saja ke ranah hukum kecuali telah terjadi kerugian nyata yang dapat dibuktikan secara hukum. 

Pada akhirnya, ini bukan hanya soal siapa yang salah atau benar, tetapi soal bagaimana hukum bisa hadir sebagai penengah yang adil dan bijaksana di tengah dinamika sosial yang terus berkembang.

© Copyright 2022 - ABAH SULTAN