![]() |
Oleh : Salwa Mahestu Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum Unpam Serang Dosen Pengampu: Ahmadi,S.T,.S.H,.M.H |
SERANG- Dalam dunia peradilan, hukum acara perdata berperan sebagai pedoman yang mengatur bagaimana proses penyelesaian sengketa antara pihak-pihak yang terlibat harus dilaksanakan. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat, Indonesia turut melakukan inovasi dalam sistem peradilan melalui penerapan hukum acara perdata elektronik atau E-Court. Sistem ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan aksesibilitas bagi para pihak yang berperkara.
Perbandingan antara hukum acara perdata konvensional dan elektronik menjadi sangat relevan dalam konteks transformasi digital yang tengah dijalani oleh lembaga peradilan di Indonesia. Dalam artikel ini, kita akan membahas perbandingan kedua sistem tersebut secara mendalam, mulai dari prosedur hingga dampaknya terhadap para pihak yang terlibat dalam perkara perdata.
Hukum Acara Perdata Konvensional
Hukum acara perdata konvensional merujuk pada prosedur tradisional yang digunakan di pengadilan dalam menyelesaikan sengketa perdata. Dalam sistem ini, para pihak yang terlibat (penggugat dan tergugat) harus mengikuti berbagai tahapan formal yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAPerdata).
Prosedur dasar dalam hukum acara perdata konvensional mencakup langkah-langkah berikut:
Pendaftaran Gugatan
Penggugat harus hadir secara fisik di pengadilan untuk mengajukan gugatan. Setelah dokumen diserahkan, pengadilan akan memproses dan menyatakan apakah gugatan dapat diterima.
Pemanggilan Pihak Tergugat
Setelah gugatan diterima, pengadilan akan mengirimkan panggilan kepada pihak tergugat untuk hadir di persidangan. Pemanggilan ini dilakukan melalui surat tercatat yang dikirimkan ke alamat tergugat.
Proses Persidangan
Persidangan dilakukan secara tatap muka di ruang sidang dengan dihadiri oleh hakim, pengacara, serta pihak yang terlibat dalam perkara. Semua prosedur administrasi dilakukan secara manual.
Pembuktian
Pembuktian dalam perkara perdata dilakukan dengan mengajukan bukti fisik, seperti surat, saksi, atau bukti lainnya, yang diserahkan langsung ke pengadilan.
Putusan dan Eksekusi
Setelah proses persidangan, hakim akan membuat keputusan yang disampaikan langsung kepada para pihak. Jika salah satu pihak tidak melaksanakan putusan, maka akan dilakukan eksekusi melalui prosedur manual.
Hukum Acara Perdata Elektronik (E-Court)
Sistem E-Court di Indonesia mulai diterapkan pada tahun 2018, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2018 yang kemudian diperbaharui dengan Perma Nomor 1 Tahun 2019. E-Court memungkinkan proses penyelesaian perkara perdata dilakukan secara elektronik, mulai dari pendaftaran gugatan hingga persidangan, dengan menggunakan sistem berbasis teknologi informasi.
Adapun tahapan dalam hukum acara perdata elektronik meliputi:
E-Filing (Pendaftaran Gugatan Online)
Penggugat dapat mendaftarkan gugatan melalui sistem online yang disediakan oleh pengadilan. Proses ini tidak memerlukan kehadiran fisik di pengadilan, karena semua dokumen dapat diunggah secara digital.
E-Payment (Pembayaran Biaya Perkara Secara Elektronik)
Pembayaran biaya perkara dapat dilakukan secara online melalui transfer bank atau aplikasi pembayaran yang terintegrasi dengan sistem pengadilan.
E-Summons (Pemanggilan Pihak Secara Elektronik)
Pemanggilan terhadap pihak tergugat dilakukan melalui media elektronik, seperti email atau pesan aplikasi, yang memudahkan pihak yang terlibat dalam perkara untuk menerima panggilan secara cepat.
E-Litigation (Persidangan Elektronik)
Beberapa jenis perkara, terutama yang sederhana, dapat dilaksanakan persidangannya secara elektronik. Pengadilan menyediakan platform daring untuk presentasi bukti dan argumentasi tanpa perlu bertatap muka secara fisik.
Pengajuan Bukti Elektronik
Bukti dalam E-Court dapat diajukan dalam bentuk digital, seperti foto, dokumen PDF, atau video, yang diunggah melalui sistem pengadilan.
Perbandingan Antara Hukum Acara Perdata Konvensional dan Elektronik
Berikut adalah perbandingan rinci antara hukum acara perdata konvensional dan elektronik berdasarkan beberapa kriteria utama:
1. Prosedur Pendaftaran Perkara
Konvensional: Penggugat harus datang ke pengadilan, menyerahkan gugatan, dan melakukan pembayaran biaya perkara secara fisik.
Elektronik: Pendaftaran gugatan dapat dilakukan secara online melalui E-Filing, yang memungkinkan penggugat untuk mengajukan perkara tanpa perlu hadir secara fisik di pengadilan.
2. Pemanggilan Pihak Tergugat
Konvensional: Pemanggilan dilakukan secara fisik melalui pengiriman surat tercatat yang memerlukan waktu dan biaya.
Elektronik: Pemanggilan dilakukan melalui E-Summons, yang dapat dilakukan secara otomatis melalui email atau aplikasi pesan, sehingga lebih cepat dan efisien.
3. Proses Persidangan
Konvensional: Persidangan dilakukan secara tatap muka di ruang sidang dengan proses administratif yang memakan waktu.
Elektronik: Persidangan dapat dilakukan secara daring melalui platform E-Litigation, yang memungkinkan pihak-pihak yang terlibat untuk berpartisipasi tanpa harus hadir fisik di pengadilan.
4. Pembuktian
Konvensional: Bukti fisik diserahkan langsung ke pengadilan dalam bentuk dokumen, saksi, atau barang bukti yang harus diperlihatkan secara langsung.
Elektronik: Bukti dapat diserahkan secara digital melalui sistem yang terintegrasi, memudahkan pihak-pihak untuk mengunggah bukti tanpa perlu menghadirkan bukti fisik.
5. Kecepatan dan Biaya Proses
Konvensional: Proses peradilan cenderung memakan waktu lama karena pengolahan dokumen secara manual dan jarak fisik antar pihak yang terlibat.
Elektronik: Proses lebih cepat karena sebagian besar prosedur dilakukan secara otomatis melalui platform online. Biaya juga lebih murah karena mengurangi kebutuhan perjalanan fisik dan administrasi manual.
Tantangan dan Peluang Implementasi E-Court di Indonesia
Walaupun E-Court menawarkan banyak kelebihan, implementasinya di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, antara lain:
Kesenjangan Akses Teknologi: Tidak semua daerah di Indonesia memiliki akses internet yang memadai, sehingga akses terhadap E-Court belum dapat merata.
Literasi Digital: Baik masyarakat maupun aparat pengadilan masih perlu mendapatkan pelatihan mengenai penggunaan sistem elektronik ini.
Keamanan Data: Proses digital memerlukan sistem keamanan yang kuat untuk melindungi data pribadi dan informasi sensitif agar tidak jatuh ke tangan yang salah.
Namun demikian, E-Court membuka peluang besar dalam transformasi digital peradilan Indonesia, yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan hukum, menciptakan transparansi, serta mempercepat proses penyelesaian sengketa.
Kesimpulan
Perbandingan antara hukum acara perdata konvensional dan elektronik menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam sistem peradilan Indonesia menuju era digital. Dengan penerapan E-Court, proses peradilan menjadi lebih cepat, efisien, dan transparan, namun masih ada tantangan yang harus diatasi, terutama terkait dengan akses teknologi dan literasi digital.
Sebagai mahasiswa hukum, saya melihat E-Court sebagai inovasi yang positif dalam sistem peradilan Indonesia. Ke depannya, implementasi E-Court akan semakin memperkuat akses keadilan bagi masyarakat luas, terutama di daerah-daerah yang selama ini terhambat oleh keterbatasan geografis dan infrastruktur.
Social Header