![]() |
Oleh : M Arifki Ridho Gusti Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum Unpam Serang Dosen Pengampu: Ahmadi,S.T,.S.H,.M.H |
SERANG- Perceraian bukanlah sekadar putusnya hubungan antara suami dan istri, melainkan sebuah proses hukum yang membawa dampak psikologis, sosial, dan hukum yang luas, terutama jika dalam pernikahan tersebut terdapat anak. Dalam praktiknya, perceraian sering kali diiringi dengan sengketa hak asuh anak, yang justru menjadi inti konflik utama.
Indonesia mengenal dua jalur hukum dalam menangani perkara perceraian: Pengadilan Agama bagi pasangan beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi pasangan non-Muslim. Namun, apapun jalurnya, penyelesaian perkara tetap dilakukan sesuai mekanisme Hukum Acara Perdata, yang mengatur prosedur pengajuan gugatan, pembuktian, hingga eksekusi putusan.
Artikel ini membahas sengketa perceraian dan hak asuh anak dengan meninjau dasar hukum materilnya dalam KUHPerdata dan UU Perkawinan, serta proses penyelesaiannya dalam kerangka Hukum Acara Perdata.
Dasar Hukum Perceraian dan Hak Asuh Anak
1. KUHPerdata
KUHPerdata sebagai hukum perdata warisan kolonial masih berlaku dalam beberapa aspek, termasuk ketentuan mengenai orang tua dan anak. Dalam Buku I KUHPerdata, khususnya Pasal 299 hingga Pasal 315, dibahas mengenai kekuasaan orang tua atas anak-anak mereka (voogdij), hak dan kewajiban perwalian, serta perlindungan terhadap anak di bawah umur. Meskipun banyak ketentuan telah dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan baru, KUHPerdata tetap menjadi rujukan hukum umum.
2. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UU ini merupakan dasar hukum nasional yang mengatur masalah perkawinan dan perceraian, dengan prinsip monogami dan tujuan mewujudkan keluarga yang bahagia dan kekal.
Pasal 39 menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, dan sebelumnya wajib diupayakan mediasi atau perdamaian.
Pasal 41 huruf a dan b mengatur konsekuensi perceraian, khususnya mengenai pemeliharaan anak dan biaya hidup, yang tetap menjadi tanggung jawab kedua orang tua walau sudah bercerai.
Pasal 45 menegaskan bahwa anak yang belum dewasa berada di bawah kekuasaan orang tua, dan pengadilan menentukan siapa yang lebih layak mengasuh anak pasca perceraian.
Kaitan dengan Hukum Acara Perdata
Sengketa perceraian dan hak asuh anak secara teknis diselesaikan melalui Hukum Acara Perdata, yaitu seperangkat prosedur hukum yang mengatur tata cara beracara di pengadilan.
1. Pengajuan Gugatan
Pihak yang ingin bercerai harus mengajukan gugatan cerai:
Pengadilan Agama jika kedua pihak beragama Islam (Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama).
Pengadilan Negeri jika salah satu atau kedua pihak beragama non-Islam.
Gugatan harus mencantumkan alasan perceraian, permohonan hak asuh anak, dan tuntutan lainnya (misal nafkah, pembagian harta gono-gini).
2. Tahapan Persidangan
Tahapan dalam hukum acara perdata meliputi:
Pendaftaran gugatan oleh pihak penggugat.
Pemanggilan resmi terhadap tergugat oleh juru sita.
Mediasi wajib untuk mencari perdamaian.
Jika gagal, dilanjutkan dengan agenda pembuktian, yakni surat nikah, akta kelahiran anak, saksi-saksi, hingga bukti perselisihan.
Diakhiri dengan putusan hakim.
3. Penentuan Hak Asuh Anak
Penentuan hak asuh anak (hak hadhanah) tidak otomatis diberikan kepada ibu, melainkan ditentukan dengan melihat:
Usia anak (balita cenderung ke ibu),
Kondisi psikologis dan finansial masing-masing orang tua,
Stabilitas lingkungan tempat tinggal,
Kepentingan terbaik bagi anak (best interest of the child).
4. Eksekusi Putusan
Jika salah satu pihak menolak menjalankan putusan, misalnya hak kunjungan atau kewajiban memberi nafkah, pihak lain dapat mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan sesuai Pasal 195 HIR.
Permasalahan dalam Praktik
Meski prosedur sudah diatur secara jelas, praktik di lapangan kerap menemui kendala, antara lain:
Putusan tidak dijalankan: Misalnya, ayah yang tidak membayar nafkah sesuai putusan atau menghalangi akses ibu untuk mengunjungi anak.
Proses pembuktian sulit: Khususnya untuk membuktikan ketidakharmonisan rumah tangga tanpa adanya KDRT atau bukti kuat lainnya.
Putusan tidak sesuai perkembangan anak: Ada kasus di mana putusan hak asuh kepada ibu menjadi tidak relevan seiring perubahan kondisi ekonomi atau psikologis ibu.
Penutup
Sengketa perceraian dan hak asuh anak bukan sekadar persoalan perdata biasa, melainkan menyangkut nasib manusia, terutama anak yang belum cakap hukum. Untuk itu, penting bagi para pihak memahami tidak hanya substansi hukum dalam KUHPerdata dan UU Perkawinan, tetapi juga prosedur hukum acara perdata yang mengaturnya secara formal.
Dengan pemahaman dan pelaksanaan hukum yang tepat, disertai pendekatan yang berorientasi pada kepentingan anak, maka sengketa ini dapat diselesaikan dengan adil dan beradab. Peran hakim yang bijaksana dan aparat peradilan yang profesional juga menjadi penentu utama dalam memastikan perlindungan hukum yang seimbang bagi semua pihak.
Social Header