![]() |
Oleh : M.Irfan Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum Unpam Serang Dosen Pengampu: Risky Amelia,S.H,.M.H |
SERANG- Perkembangan teknologi blockchain telah menghadirkan inovasi dalam dunia hukum perikatan, salah satunya adalah kehadiran kontrak cerdas (smart contract). Smart contract merupakan kode digital yang mengeksekusi kesepakatan secara otomatis berdasarkan kondisi yang telah ditentukan. Namun, muncul pertanyaan kritis: apakah smart contract dapat menggantikan atau bahkan mengungguli sistem hukum perdata yang diatur dalam KUHPerdata?
Sebagai mahasiswa hukum, saya memandang bahwa smart contract adalah alat, bukan pengganti hukum. Meskipun keunggulan smart contract dalam hal efisiensi, transparansi, dan kecepatan eksekusi tidak dapat disangkal, ia tetap tidak memiliki "jiwa hukum" sebagaimana kontrak dalam KUHPerdata. KUHPerdata mengatur prinsip-prinsip fundamental seperti itikad baik, causa yang halal, dan kebebasan berkontrak, yang tidak bisa diwakili sepenuhnya oleh sekadar kode digital.
Di sisi lain, kita tidak bisa menolak kenyataan bahwa teknologi bergerak lebih cepat daripada regulasi. Smart contract telah digunakan dalam transaksi internasional, keuangan terdesentralisasi (DeFi), bahkan jual beli aset digital (NFT). Maka, KUHPerdata tidak boleh stagnan. Diperlukan pembaruan atau minimal penafsiran progresif agar hukum perdata mampu menjawab tantangan zaman.
Dengan demikian, jawabannya bukan siapa yang lebih berkuasa, melainkan bagaimana keduanya bisa saling melengkapi. Smart contract membutuhkan fondasi hukum yang jelas, dan KUHPerdata harus cukup adaptif untuk mengakomodasi inovasi. Negara tidak boleh membiarkan warganya terjebak dalam sistem yang tidak diakui oleh hukum, namun juga tidak boleh membiarkan hukum tertinggal dari perkembangan zaman.
Social Header