Breaking News

Pancasila sebagai Pedoman Etis dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia

Oleh : M Faizal Ramdhani
Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum 
Unpam Serang 
Dosen Pengampu : Risky Amelia,S.H,.M.H


SERANG - Peradilan pidana berfungsi melindungi masyarakat sekaligus menegakkan keadilan bagi pelaku, korban, dan negara. Agar tidak sekadar “tajam ke bawah, tumpul ke atas”, proses pidana memerlukan pedoman etis yang diakui secara nasional. Pancasila—sebagai dasar negara—menyediakan landasan moral‐filosofis untuk memastikan bahwa setiap tahap peradilan berjalan manusiawi, berkeadilan, dan beradab.

Pancasila sebagai Kompas Etika

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

o Mendorong semua aparat penegak hukum bertindak jujur, bertanggung jawab, dan menjunjung nilai universal kemanusiaan yang bersumber pada keyakinan religius masing‐masing.

2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

o Menuntut perlakuan setara tanpa penyiksaan, persekusi, atau bentuk dehumanisasi lain, baik saat penangkapan, pemeriksaan, maupun pemidanaan.

3. Persatuan Indonesia

o Mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan, mencegah bias SARA, dan memastikan kesatuan hukum di seluruh wilayah Republik.

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan

o Menjadi dasar asas peradilan terbuka, partisipatif, mengakui hak pembelaan, dan menghargai musyawarah (diversi, restorative justice) sebelum penuntutan formal.

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

o Menuntut sistem pemidanaan proporsional, bebas diskriminasi ekonomi, serta memprioritaskan rehabilitasi dan reintegrasi sosial, bukan sekadar pembalasan.

Implementasi Nilai Pancasila di Setiap Tahap Proses Pidana

1. Penyelidikan & Penyidikan

Larangan penyiksaan (sila 2) dan kewajiban menginformasikan hak tersangka menjadi tolok ukur profesionalisme aparat.

Diversi untuk anak berhadapan dengan hukum mencerminkan sila 4 dan 5: menghindari stigmatisasi serta menekankan pemulihan.

2. Penuntutan

Jaksa harus mempertimbangkan asas opportunitas (kepentingan umum) dan pendekatan restorative sebagai perwujudan sila 5.

Transparansi berkas perkara memastikan akuntabilitas pada rakyat, selaras dengan sila 4.

3. Persidangan

Hakim wajib memeriksa secara imparsial dan membuka ruang pembelaan seimbang, sejalan dengan sila 2 dan 4.

Putusan harus memuat pertimbangan kemanusiaan dan keadilan sosial, menolak diskriminasi status ekonomi atau politik terdakwa.

4. Pemidanaan & Pemasyarakatan

Hukuman dipilih dengan prinsip proporsionalitas; vonis mati, misalnya, harus diuji ketat melalui lensa sila 2 dan 5.

Lembaga pemasyarakatan berfungsi membina, bukan sekadar mengurung, guna memastikan reintegrasi sosial (sila 5).

Tantangan Aktual

Disparitas putusan: Kasus korupsi bernilai besar kerap berujung hukuman ringan dibandingkan pencurian kecil.

Overcrowding lapas: Menunjukkan kegagalan menyeimbangkan unsur pemenjaraan dengan alternatif pemidanaan.

Diskriminasi ekonomi dan sosial: Akses pengacara masih mahal; bantuan hukum gratis belum merata.

Budaya hukuman retributif: Publik sering menuntut balas dendam, bertentangan dengan semangat rehabilitatif Pancasila.

Rekomendasi

1. Memperluas restorative justice untuk perkara ringan dan nonkekerasan, mengutamakan pemulihan kerugian korban.

2. Standar etik terintegrasi berbasis Pancasila dalam Code of Conduct Polisi, Jaksa, Advokat, dan Hakim.

3. Revisi kebijakan pemidanaan dengan indikator keadilan sosial: kesejahteraan keluarga terdakwa, kapasitas lapas, dan potensi rehabilitasi.

4. Pendidikan hukum berperspektif Pancasila & HAM bagi mahasiswa dan aparat, agar nilai kebangsaan dan hak individu menyatu dalam praktik.

Menjadikan Pancasila sebagai pedoman etis memastikan proses peradilan pidana tidak saja sah secara formal, tetapi juga adil secara substansial. Dengan menempatkan kemanusiaan, kebijaksanaan, dan keadilan sosial di garis depan, sistem peradilan pidana Indonesia akan lebih mampu melindungi korban, menghormati hak terdakwa, dan menjaga kepercayaan publik. Tantangan memang besar, namun dengan komitmen seluruh elemen penegak hukum—didukung kesadaran kritis mahasiswa hukum—Pancasila dapat terus hidup sebagai jiwa etika peradilan pidana di negeri ini.

© Copyright 2022 - ABAH SULTAN