Breaking News

Pemuda dalam Cita Hukum dan Pancasila: Pilar Bangsa Menuju Indonesia Emas

Oleh : Muhammad Abdul latief
Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum
Unpam Serang 
Dosen pengampu : Nurul Wahyuni,S.H.,M.H




Oleh : Muhammad Abdul latief
Mahasiswa Ilmu Hukum Unpam Serang 
Mk : Pendidikan Budaya & karakter abangsa

Dosen pengampu : Nurul Wahyuni,S.H.,M.H


OPINI- Sebagai mahasiswa hukum yang tengah menyelami kompleksitas norma-norma konstitusional dan tanggung jawab sosial, saya merasa terpanggil untuk merenungkan juhdul "Peran Pemuda dalam Membangun Bangsa". Dalam konteks Undang-Undang Dasar 1945, yang menegaskan bahwa bangsa Indonesia dibangun atas dasar persatuan dan kedaulatan rakyat, pemuda bukan sekadar generasi penerus, melainkan agen perubahan yang vital. Opini saya, yang lahir dari kajian akademik dan empati mendalam terhadap dinamika sosial, adalah bahwa pemuda memiliki peran krusial sebagai motor inovasi, penegak keadilan, dan pembawa harapan kolektif. Namun, peran ini harus diimbangi dengan pendidikan etis dan partisipasi aktif, agar tidak terjebak dalam romantisme semata, melainkan menjadi kekuatan transformatif yang humanis.

Pertama, dari sudut pandang hukum, pemuda berperan sebagai penjaga konstitusi dan demokrasi. Pasal 28C UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk berkembang secara bebas, termasuk pemuda yang sering kali menjadi korban ketidakadilan struktural seperti pengangguran atau akses pendidikan yang terbatas. Dalam esai ini, saya berpendapat bahwa pemuda harus mengambil inisiatif untuk memperjuangkan reformasi hukum, seperti advokasi terhadap undang-undang yang mendukung partisipasi politik muda.

 Misalnya, melalui organisasi mahasiswa atau gerakan sosial, mereka dapat mendorong amandemen regulasi yang lebih inklusif, seperti penurunan usia pemilih atau penguatan hak atas informasi. Secara humanis, ini bukan sekadar kewajiban formal, melainkan panggilan jiwa untuk melindungi generasi mendatang—bayangkan pemuda sebagai "penjaga api" yang menyalakan semangat solidaritas, mencegah bangsa ini terperosok ke dalam stagnasi atau konflik.

Kedua, pemuda sebagai inovator ekonomi dan sosial memainkan peran sentral dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam perspektif hukum internasional, seperti Sustainable Development Goals (SDGs) yang diadopsi Indonesia, pemuda diharapkan berkontribusi pada target seperti pengentasan kemiskinan dan pendidikan berkualitas. Opini saya adalah bahwa melalui kewirausahaan digital atau gerakan lingkungan, pemuda dapat mentransformasi tantangan nasional menjadi peluang.

 Namun, tantangan hukum seperti regulasi investasi yang kaku sering menghambat ini, sehingga pemuda perlu dididik untuk menjadi advokat perubahan—mungkin melalui kampanye hukum yang humanis, yang tidak hanya menuntut hak, tetapi juga membangun empati antarwarga. Ini mengingatkan kita pada nilai-nilai Pancasila, di mana gotong royong bukan sekadar slogan, melainkan praktik hidup yang menghubungkan hati manusia dalam membangun bangsa yang adil dan sejahtera.

Akhirnya, dalam kesimpulan ini, saya tegaskan bahwa peran pemuda bukanlah beban, melainkan kehormatan yang penuh harapan. Sebagai mahasiswa hukum, saya percaya bahwa pendidikan hukum harus melatih pemuda untuk berpikir kritis dan bertindak etis, sambil menjaga dimensi humanis—yaitu, empati terhadap sesama manusia yang menderita. Bangsa ini akan maju jika pemuda tidak hanya memimpikan masa depan, tetapi juga mewujudkannya melalui aksi nyata. 

Mari kita, sebagai generasi muda, bangkit dengan semangat yang membara, karena dalam tangan kita, bangsa ini bisa menjadi mercusuar keadilan dan kemajuan bagi dunia. Semoga opini ini menginspirasi diskusi lebih lanjut, di mana hukum dan hati manusia bersatu untuk kemaslahatan bersama.

© Copyright 2022 - ABAH SULTAN