![]() |
| Oleh: Arya Pratama Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum Unpam Serang Dosen Pengampu: Dede Ika Murofikoh S.H.,M.H. |
Mahasiswa Ilmu Hukum Unpam Serang
MK: Pendiddikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu: Dede Ika Murofikoh S.H.,M.H.
OPINI - Belakangan ini, publik Indonesia diguncang oleh adanya aksi demonstrasi besar-besaran yang menolak RUU TNI yang kini menjadi wacana di parlemen. Mahasiswa, aktivis kaum sipil, dan elemen masyarakat lainnya menilai bahwa RUU tersebut bisa memberi ruang bagi militer atau unsur-unsur TNI untuk memperluas kewenangannya ke ranah sipil, sehingga mengancam prinsip demokrasi dan kontrol sipil atas militer.
Salah satu pendorong utama penolakan ini adalah ketidakjelasan redaksional dan ambiguitas dalam usulan pasal-pasal yang memungkinkan intervensi TNI dalam tugas-tugas sipil. Ketika kewenangan TNI didorong melewati garis yang semestinya dipisahkan antara sipil dan militer, maka potensi penyalahgunaan kekuasaan bisa meningkat. Publik berhak waspada, karena sejarah Indonesia menunjukkan masih ada resiko pelanggaran hak asasi manusia ketika militer memiliki posisi yang terlalu dominan di luar tugas pertahanan.
Di sisi lain, beberapa pihak percaya bahwa RUU TNI diperlukan untuk menyesuaikan peran militer dengan perkembangan ancaman keamanan dan geopolitik yang sekarang lebih kompleks. Mereka berargumen bahwa pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada TNI dalam kerangka sipil bisa mempercepat respons terhadap krisis keamanan, seperti bencana alam, darurat sosial, maupun ancaman siber. Namun, kebutuhan respons cepat tidak cukup menjadi alasan untuk melemahkan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas.
Dalam demokrasi modern, keberadaan mekanisme check and balances, transparansi, serta pengawasan dari lembaga sipil dan legislatif adalah hal mutlak. Jika RUU ini disahkan tanpa jaminan kuat bahwa fungsi pengawasan tetap terjaga—baik melalui parlemen, melalui lembaga HAM, maupun publik—maka keseimbangan kekuasaan berpotensi terganggu. Hal ini juga dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga keamanan jika mereka dianggap beroperasi melewati batas yang semestinya.
Kesimpulannya, meskipun ada argumen bahwa RUU TNI bisa menyesuaikan aparatur pertahanan dan keamanan dengan kondisi terkini, risiko terhadap demokrasi dan hak-hak sipil jauh lebih besar jika tidak ada kontrol yang jelas dan efektif.
Oleh karena itu, seharusnya proses pembahasan RUU ini dilakukan dengan sangat hati-hati, melibatkan publik luas, dan memperkuat lembaga pengawas agar demokrasi dan kebebasan sipil tetap terjaga. Demokrasi bukan hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga menjaga batas-batas kekuasaan agar tidak disalahgunakan.

Social Header