Breaking News

Birokrasi Digital yang Belum Siap: Mengurai Masalah Perizinan Usaha di Kabupaten Serang



Oleh: Hidayatusshibyan Hamamy (1111230015@untirta.ac.id)
Mahasiswa Ilmu Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

OPINI- Sistem perizinan usaha di Indonesia saat ini memang sudah mengalami banyak pembaruan, terutama sejak diberlakukannya sistem Online Single Submission (OSS). Secara teoritis, OSS mempercepat dan memudahkan proses perizinan, hanya membutuhkan waktu dua hingga tiga hari untuk menerbitkan izin yang sebelumnya bisa memakan waktu berbulan-bulan. Di sisi lain, sistem ini juga dirancang sebagai upaya deregulasi dan penyederhanaan birokrasi, di mana proses yang dulunya terfragmentasi di berbagai instansi kini diintegrasikan dalam satu pintu secara daring.

Sayangnya, praktik di lapangan justru mengindikasikan masalah-masalah yang belum tuntas. Masih banyak ditemukan pelaku usaha yang belum memahami sistem OSS, bahkan ada yang merasa cukup hanya dengan mendapatkan izin dari satu instansi pusat tanpa memenuhi persyaratan administratif di tingkat daerah, seperti Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) atau standar-standar teknis lain. Akibatnya, muncul usaha-usaha yang beroperasi tanpa izin lengkap atau bahkan tanpa izin sama sekali,sebagaimana terjadi di Kabupaten Serang belakangan ini.

Dari sisi kelembagaan, masih tingginya ego sektoral dan lemahnya koordinasi antarinstansi menjadi sandungan utama sistem OSS. Banyak perizinan yang prosedurnya tumpang tindih, persyaratannya membingungkan, dan proses digitalisasinya tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas SDM birokrasi maupun penyediaan infrastruktur digital yang memadai di daerah. Tak heran bila pengurusan izin kadang tetap lambat, bahkan rawan pungli oleh oknum tertentu, sehingga tujuan OSS untuk memperbaiki iklim investasi belum sepenuhnya tercapai.

Selain itu, masalah mendasar seperti kurangnya sosialisasi, literasi digital yang rendah khususnya di kalangan pelaku usaha kecil, serta inkonsistensi penerapan standar dan aturan antara pusat dan daerah memperburuk keadaan. Realitasnya, kemudahan perizinan masih menjadi jargon, bukan pengalaman konkret sebagian besar pelaku usaha. Mereka seringkali terjebak prosedur berbelit atau ketidakpastian hasil pengajuan izin—padahal di atas kertas pemerintah telah menjanjikan sistem yang transparan, efisien, dan ramah bagi pelaku usaha kecil hingga besar.

Situasi kritis semacam ini mempertaruhkan dua hal sekaligus: kepastian hukum dan perlindungan masyarakat. Perusahaan yang beroperasi tanpa izin bukan hanya merugikan negara dari sisi penerimaan retribusi dan pajak, tapi juga berpotensi membahayakan masyarakat karena tidak ada jaminan usaha tersebut telah memenuhi standar keselamatan, lingkungan, dan tata ruang. Ketika praktik pelanggaran justru "dimaklumi" melalui pendekatan pembinaan yang terlalu lunak, pesan keadilan dan kepastian hukum semakin kabur, dan pelaku usaha yang patuh justru tersisih akibat kalah bersaing secara tidak sehat.

Ironisnya, niat pemerintah untuk mempercepat urusan izin lewat OSS malah bisa kontraproduktif jika tidak diimbangi pengawasan yang solid dan sistem penegakan hukum yang konsisten.

Pemerintah perlu menegaskan kembali orientasi kebijakan perizinan: tidak semata soal kemudahan investasi, tapi juga keterjaminan perlindungan publik. Penyederhanaan izin harus disertai perbaikan kualitas pengawasan, peningkatan literasi digital dan hukum bagi pelaku usaha, serta sanksi tegas bagi pelanggar aturan. Idealnya, OSS bukan sekadar alat administrasi elektronik, tetapi juga instrumen perubahan budaya tata kelola, menciptakan ekosistem usaha yang sehat secara ekonomi dan tertib secara hukum.

Singkatnya, sistem perizinan sudah benar di atas kertas, tetapi masih jauh dari harapan di lapangan. Keberhasilan OSS sangat ditentukan oleh komitmen pelaksanaan di tingkat daerah, penegakan aturan tanpa pandang bulu, serta keterlibatan aktif masyarakat dalam pengawasan publik. Tanpa hal ini, reforma birokrasi perizinan hanya menjadi slogan tanpa dampak nyata.

© Copyright 2022 - ABAH SULTAN