Breaking News

Kebijakan Perpajakan Menteri Purbaya : Mendukung Rakyat Cilik Atau Sebaliknya?

Oleh : Tituk Yuana Widiyati, AMd.R.O 
Mahasiswa Ilmu Hukum 
Universitas Pamulang Kampus Serang


Oleh : Tituk Yuana Widiyati, AMd.R.O 
Mahasiswa Ilmu Hukum 

Universitas Pamulang Kampus Serang


OPINI - Purbaya Yudhi Sadewa yang menjabat sebagai menteri keuangan sejak pelantikan pada 8 September 2025, menggantikan Sri Mulyani Indrawati, telah membuat kebijakan-kebijakan perpajakan yang sebagian kebijakan tersebut menjadi kebijakan yang kontroversial. Yang menimbulkan banyak Pro dan Kontra dalam masyarakat dari segala lapisan masyarakat dan beberapa sektor. Menteri Purbaya menjadi sosok yang sangat disorot saat ini. 

Beliau memasuki kursi kebijakan fiskal di tengah harapan besar masyarakat: apakah dia akan menjadi “pembela rakyat cilik” melalui kebijakan pajak yang adil, atau justru menjalankan kebijakan yang lebih menguntungkan elit dan korporasi? Berdasarkan sejumlah kebijakan perpajakan di bawah kepemimpinannya, jawabannya tidak hitam-putih, ada niat untuk melindungi rakyat kecil, tetapi sekaligus risiko dan kerangka kebijakan yang bisa justru memberi beban pada mereka jika tidak dikelola dengan sangat hati-hati.

Menteri Purbaya datang dengan janji “Pajak Pro Rakyat” dengan memperbaiki tata kelola fiskal dan menciptakan pajak yang lebih adil. Tetapi hingga kini belum terlihat kebijakan konkret yang secara tegas meringankan beban masyarakat kecil. Ketika sebagian besar masyarakat mengeluhkan harga-harga yang naik dan pendapatan yang stagnan, publik menantikan langkah fiskal yang terasa langsung di dompet mereka dan bukan sekadar wacana. Kebijakan Purbaya yang paling disorot adalah keputusan tidak menaikkan tarif cukai rokok pada 2026.

Pendukungnya menyebut kebijakan ini “pro-rakyat kecil” karena tidak menambah beban pekerja industri rokok dan konsumen dari kelompok ekonomi rendah yang masih sangat bergantung pada industri tembakau. 

Namun, di sisi lain, kelompok kesehatan publik menilai keputusan ini justru bertentangan dengan kepentingan rakyat kecil karena rokok adalah salah satu penyebab utama kemiskinan struktural dan beban kesehatan jangka panjang. Dilema ini menimbulkan pertanyaan: apakah Purbaya mengutamakan keberlangsungan industri, atau keberlanjutan kesehatan ekonomi masyarakat kecil ?.

Purbaya masih mewarisi kondisi fiskal yang rumit, termasuk tekanan peningkatan penerimaan pajak. Namun, tanpa perbaikan transparansi dan komunikasi publik yang selama ini banyak dikritik pada era sebelumnya kebijakan apa pun akan mudah dianggap sebagai beban baru. 

Ketiadaan penjelasan yang jelas kepada publik terkait arah reformasi pajak membuat masyarakat sulit percaya bahwa kebijakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan mereka. Rakyat kecil tidak menuntut pajak dihapuskan. 

Mereka menuntut keadilan. Dan keadilan pajak bukan hanya soal berapa persen pungutan, tetapi juga, apakah yang kaya membayar secara proporsional, apakah pengawasan pajak berjalan adil, apakah penerimaan negara dipakai untuk kepentingan publik, dan apakah beban pajak tidak jatuh secara tidak proporsional ke masyarakat menengah bawah. 

Jika Purbaya ingin dikenal sebagai Menkeu yang pro-rakyat kecil, ia harus menggeser fokus dari “menaikkan atau tidak menaikkan pajak” menjadi “siapa sebenarnya yang menanggung beban pajak”.

Jadi apakah kebijakan perpajakan Menteri Purbaya mendukung rakyat cilik? Jawabannya menurut saya masih belum jelas. Karena beberapa langkahnya memberi sinyal ke arah keberpihakan, tetapi belum cukup kuat untuk menyimpulkan bahwa kebijakan fiskal di bawah kepemimpinannya benar-benar berpihak pada masyarakat kecil. 

Purbaya masih punya kesempatan dan waktu untuk membuktikan bahwa pajak bisa menjadi instrumen keadilan sosial, bukan sekadar alat menarik penerimaan Negara. (TY)


© Copyright 2022 - ABAH SULTAN