Breaking News

UMKM Semakin Berdaya dengan Kebijakan Pajak yang Lebih Ringan

Oleh: Diana Safitri
Mahasiswa Ilmu Hukum
Universitas Pamulang Kampus Serang


Oleh: Diana Safitri
Mahasiswa Ilmu Hukum

Universitas Pamulang Kampus Serang


OPINI - Kebijakan penurunan tarif PPh Final menjadi 0,5 persen melalui PP 23 Tahun 2018 sebagai langkah yang menunjukkan usaha nyata pemerintah untuk memperkuat perekonomian rakyat. Dalam beberapa tahun terakhir, UMKM menjadi salah satu sektor yang paling terlihat perannya dalam menjaga kestabilan ekonomi nasional. Jumlah pelaku UMKM yang mencapai puluhan juta menjadi bukti bahwa sektor ini bukan sekadar kategori usaha, tetapi fondasi yang menahan pergerakan ekonomi Indonesia. Kebijakan pajak yang lebih bersahabat bagi pelaku UMKM membuat saya merasa bahwa pemerintah semakin memahami kebutuhan nyata masyarakat di lapangan.

Dalam praktiknya, pajak final berbasis omzet sering kali menjadi tantangan bagi UMKM, terutama bagi usaha kecil yang masih berada pada tahap awal pengembangan. Pendapatan yang naik turun dan margin keuntungan yang tipis membuat pajak berbasis omzet terasa cukup membebani. Penurunan tarif pajak dari 1 persen menjadi 0,5 persen memberi ruang yang jelas bagi pelaku usaha kecil untuk bernafas lebih lega. Dana yang sebelumnya harus dialokasikan untuk pajak kini bisa digunakan untuk keperluan lebih penting seperti pengadaan barang, perbaikan alat usaha, atau bahkan membuka cabang baru. Kebijakan ini terasa seperti bentuk dukungan yang langsung menyentuh aspek paling dasar dalam pengembangan UMKM.

Ketentuan mengenai masa transisi dalam PP 23/2018 juga menurut saya memberikan gambaran bahwa pemerintah tidak hanya mengubah angka tarif, tetapi juga ingin membina pelaku usaha agar lebih siap dalam memenuhi kewajiban perpajakan umum di masa depan. Wajib pajak orang pribadi diberikan waktu tujuh tahun, sedangkan badan usaha seperti koperasi, CV, dan firma diberi jangka waktu empat tahun. Untuk perseroan terbatas, masa transisinya tiga tahun. Pengaturan seperti ini menunjukkan bahwa tidak semua pelaku usaha disamaratakan, tetapi dipandang berdasarkan kapasitas administratif dan kemampuannya menjalankan pembukuan.

Pendekatan ini cukup adil. UMKM yang usahanya masih berkembang diberi kesempatan untuk meningkatkan literasi keuangan serta memperbaiki pencatatan keuangannya. Ketika mereka nanti beralih ke sistem perpajakan umum, transisinya tidak lagi mengejutkan. Selain itu, adanya pilihan untuk tetap memakai tarif final atau beralih ke tarif normal berdasarkan Pasal 17 UU PPh menunjukkan bahwa pemerintah tidak memaksa pelaku usaha, melainkan memberikan fleksibilitas agar wajib pajak dapat menyesuaikan diri secara rasional.


UMKM menyerap sebagian besar tenaga kerja di Indonesia dan menjadi penopang ekonomi keluarga bagi jutaan orang. Ketika beban pajak mereka diringankan, kesempatan untuk memperbesar usaha semakin terbuka. Ketika semakin banyak usaha berkembang, peluang kerja juga bertambah. Efeknya tidak hanya dirasakan oleh para pemilik usaha, tetapi juga masyarakat di sekitar mereka. Kebijakan pajak yang ditujukan untuk mendukung UMKM sebenarnya adalah kebijakan yang turut memperkuat ekonomi rumah tangga rakyat.

Dari sisi teori hukum, PP 23/2018 mencerminkan konsep hukum yang responsif. Regulasi pajak seharusnya tidak hanya dibuat sebagai instrumen pemungutan, tetapi juga harus memperhatikan kondisi sosial dan kebutuhan nyata wajib pajak. Dalam pandangan saya sebagai mahasiswa, regulasi yang berhasil adalah regulasi yang mampu menjawab persoalan di lapangan tanpa mengabaikan prinsip-prinsip hukum. PP 23/2018 tidak hanya memuat aturan mengenai tarif, tetapi juga mengandung pesan pembinaan, pemberdayaan, dan kemudahan. Hal ini selaras dengan prinsip bahwa hukum harus hidup bersama masyarakat dan memberi manfaat yang nyata bagi mereka.

Kebijakan pajak yang lebih ringan bagi UMKM juga menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara negara dan masyarakat. UMKM diberi kemudahan agar mampu bertumbuh, dan ketika usaha mereka makin maju, kontribusi mereka kepada negara juga akan meningkat. Konsep timbal balik seperti ini memperlihatkan bahwa pajak bukan hanya alat pemungutan, tetapi juga bagian dari kerja sama antara pemerintah dan warga negara dalam mewujudkan kesejahteraan bersama.

Kebijakan penurunan tarif ini bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga soal nilai moral dalam bernegara. UMKM bukan sekadar entitas bisnis kecil, mereka adalah wujud nyata semangat masyarakat untuk bertahan dan berkembang. Mereka yang membuka warung kecil, memproduksi kerajinan, menjual makanan rumahan, atau menjalankan bisnis jasa, adalah orang-orang yang membangun ekonomi dari bawah. Ketika negara memberi mereka ruang bergerak lebih besar melalui kebijakan pajak yang lebih ringan, hal itu terasa seperti pengakuan bahwa mereka memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia.

Kebijakan pajak dalam PP 23/2018 memberikan harapan bahwa pemberdayaan ekonomi rakyat dapat dilakukan secara struktural. Ketika usaha kecil diberi kemudahan, mereka berkesempatan untuk naik kelas menjadi usaha menengah. Jika banyak pelaku UMKM yang berhasil berkembang, dampaknya akan terasa dalam perekonomian nasional. Produksi meningkat, lapangan kerja bertambah, dan pemerataan ekonomi menjadi lebih mungkin tercapai. Negara bukan hanya mendapatkan manfaat ekonomi, tetapi juga memperkuat fondasi sosial melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat.

PP 23/2018 merupakan contoh bagaimana kebijakan perpajakan dapat berfungsi sebagai alat pemberdayaan. Kebijakan ini menunjukkan bahwa perpajakan tidak harus selalu dipandang sebagai beban, tetapi dapat menjadi instrumen yang memperkuat kapasitas masyarakat. Negara hadir bukan untuk menekan pelaku UMKM, tetapi untuk membantu mereka berkembang. Ketika UMKM tumbuh, Indonesia ikut tumbuh bersama mereka.l dan produktif.

© Copyright 2022 - ABAH SULTAN